Jakarta,suarabali.com – Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah dalam siaran persnya yang diterima reportasenews.com mengatakan apapun alasannya, penundaan pemilu adalah bentuk pembangkangan terhadap Pasal 22E ayat (1) Konstitusi. Menurutnya apabila stabilitas ekonomi dijadikan dalil utama penundaan pemilu, seolah pemerintah lupa bahwa pemindahan ibu kota negara justru dilakukan begitu saja di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Ia mengingatkan elit politik baik di lingkungan parlemen maupun istana untuk tidak membuat kegaduhan dengan usulan perubahan rencana ketatanegaraan yang tak berlandaskan urgensi yang nyata.
Terkait usulan penundaan pemilu merupakan aspirasi para pengusaha dengan dalil perlunya waktu untuk memulihkan stabilitas ekonomi nasional akibat pandemi Ia mengingatkan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan pengusaha. “Rakyat yang dimaksud konstitusi tentu seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir kelompok saja, apalagi golongan elit pengusaha, ucap dia dalam siaran pers, Senin.
“Beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya seharusnya menjadi refleksi betapa negara seolah acap kali disetir oleh kelompok tertentu dan negara menjadi alat pemuas kepentingan kelompok tertentu dengan mengabaikan pemenuhan hak-hak rakyat, mulai dari UU Minerba, UU Cipta Kerja hingga UU Ibu Kota Negara”. katanya
Ia menjelaskan, harusnya negara berefleksi betapa terlalu gegabahnya pemerintah selama ini dalam mengambil sikap tanpa memperhatikan hak-hak rakyat. Negara Indonesia seharusnya dijalankan dari, untuk, dan oleh rakyat, bukan dari, untuk, dan oleh pengusaha semata.
Ia menegaskan pemilu tidak hanya sebagai kontestasi penyaluran suara rakyat semata, namun juga sebagai momentum regenerasi aktor-aktor politik negara. Terlebih, rezim Presiden saat ini telah menginjak pada dua tahun periode kepemimpinannya. Jangan sampai singgasana Presiden terus melanggeng hingga melebihi 10 tahun lamanya.
“Selain tidak sesuai dengan desain konstitusional negara, fenomena tersebut juga akan semakin membuka celah terjadinya “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, yaitu kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak benar-benar korup tutupnya. (*)