Denpasar, suarabali.com – Sungguh malang nasib sembilan remaja asal Kabupaten Flores Timur (Flotim), Provinsi Nusat Tenggara Timur (NTT) ini. Anak-anak yang baru lulus SMA di Flores Timur ini sudah dua tahun terkatung-katung di Bali. Sebelumnya, mereka dijanjikan akan dikirim ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).
Lantaran belum juga diberangkatkan, sembilan anak tersebut mengadukan nasibnya ke Polresta Denpasar, Selasa (18/8/2020). Mereka melaporkan perusahaan yang merekrut mereka untuk menjadi TKI yang akan dikirim Taiwan, Jepang, dan Turki.
Lorensius Riberu, salah satu korban, mengatakan dia dan teman-temannya sudah direkrut sejak tahun 2018. “Sesungguhnya totalnya kami semua berjumlah 51 orang yang direkrut dua gelombang. Dari jumlah itu, ada yang sudah berangkat ke Taiwan dan Jepang. Sebenarnya banyak yang tidak jadi berangkat,” katanya saat ditemui di Mapolresta Denpasar, Selasa (18/8/2020).
Lantaran menunggu dalam ketidak-pastian, kata Riberu, yang tidak jadi berangkat pelan-pelan pulang ke kampung halaman. Jumlah yang tidak jadi berangkat ada sebanyak 21 orang. Awal tahun 2019, 5 orang sudah pulang kampung tanpa hasil. Kemudian awal tahun 2020, ada 7 orang lagi yang pulang tanpa hasil.
“Saat ini tinggal kami sembilan orang yang bertahan dan belum ada kejelasan kapan berangkat. Tapi, yang bikin kami jadi marah, kami yang di sini saja belum berangkat, sudah ada rekrutan baru lagi. Ini menjadi tanda tanya,” ujar Riberu.
Sebelum berangkat ke Bali, dia mengisahkan, mereka dijanjikan hanya dua pekan di Bali untuk berbagai pelatihan singkat dan administrasi. Namun, mereka dipungut biaya Rp 21 juta per orang. Uangnya diambil dari hasil kredit di BRI Larantuka dan langsung disetor ke LPK Darma Bali sebagai agen resmi yang akan memberangkatkan mereka ke luar negeri.
Menurut perusahaan yang merekrut, kata Riberu, uang tersebut untuk biaya pelatihan, administrasi, dan biaya hidup saat berada di tempat magang. Namun, setelah tiba di Bali dan menunggu hingga 2 tahun, mereka disuruh meminjam uang lagi di Bank Fajar Bali dan yang menjadi penjamin adalah LPK Darma Bali.
Namun, menurut Riberu, besaran pinjaman di Bank Fajar Bali tersebut bervariasi. Untuk yang ke Taiwan, dikasih pinjaman sebesar Rp 15 juta. Sementara yang memilih ke Turki, kreditnya sebesar Rp 27 juta.
“Tapi, kami hanya menerima sebesar Rp 25 juta. Padahal, angka yang ditandatangani sebesar Rp 27 juta. Itu pun semuanya diserahkan ke LPK Darma Bali,” ujarnya.
Alasan mengajukan kredit di Bank Fajar Bali adalah untuk biaya perjalanan, karena uang yang dipinjam dari BRI Larantuka sudah menipis.
Menurut Riberu, dia dan teman-temannya mengadukan nasib mereka ke Polresta Denpasar untuk mencari keadilan. “Kami banyak ruginya, dua tahun terkatung-katung tidak jelas. Kuliah juga tidak. Bekerja juga tidak. Makanya banyak teman yang rugi dan memutuskan pulang kampung,” ujarnya.
Dia meminta LPK Darma Bali bersama beberapa tenaga perekrut bertanggungjawab atas nasib mereka. Dia juga meminta pihak-pihak terkait bertanggungjawab, yakni LPK Darma Bali, STIKOM Bali, dan Pemda Flotim. Sebab, kata dia, tiga lembaga tersebut bekerja sama untuk merekrut mereka.
Saat ini kondisi mereka memprihatinkan. Mereka hanya dijatah uang makan Rp 140 ribu per minggu. Artinya, mereka hanya dijatah makan seharga Rp 20 ribu per hari.
Menanggapi pengaduan sembilan rejama itu, Kasubag Humas Polresta Denpasar Iptu I Ketut Sukadi membenarkan. Menurut dia, laporan tersebut masih bertatus penagaduan masyarakat (dumas). Pihaknya sudah meminta keterangan awal dari para pelapor. “Kami masih dalami dumas ini. Nantinya kami akan kumpulkan bukti-bukti. Setelah itu, kami akan gelar lagi untuk naikkan status dumas menjadi laporan polisi (LP),” tuturnya. (05)